Diperbarui terakhir: Minggu, 18 Muharram 1442 H (6 September 2030)
Adi Ingin Berbagi - Aceh merupakan daerah yang sangat kaya dan subur dan berada di ujung barat Indonesia dan menjadi penyebaran Islam. Kesultanan Aceh Darussalam adalah sebuah Negara Islam yang bercorak agraris dan maritim yang berdiri pada tahun 1496 hingga tahun 1903 Masehi.
Kesultanan Aceh Darussalam menerapkan sistem perdagangan bebas dan terbuka membuat para pedagang dari berbagai daerah di Indonesia berdagang di Aceh. Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, perekonomian rakyatnya sangat maju dan makmur.
Kesultanan Aceh Darussalam juga menguasai dan mengelola Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia. Para pedangang Arab, Persia, Turki, India, Cina dan Siam (Thailand) berhubungan dagang dengan Aceh. Kapal-kapal dagang Kesultanan Aceh Darussalam juga mampu berlayar sampai ke Laut Tengah.
Kesultanan Aceh Darussalam sangat terbuka bagi bangsa-bangsa lain dengan syarat bahwa mereka tak ikut campur dalam urusan dalam negeri.
Namun, negara-negara Kristen Eropa dengan congkak mencampuri urusan dalam negeri Kesultanan Aceh Darussalam termasuk mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Non Eropa hingga detik ini.
Dalam sistem masyarakat, Aceh terbagi menjadi 2 golongan yaitu Tengku untuk golongan masyarakat ulama yang berpengaruh dalam keagamaan dan kemasyarakatan, dan Teuku untuk golongan masyarakat bangsawan yang berkuasa atas pemerintahan.
Kesultanan Aceh Darussalam yang memiliki kedudukan strategis di kawasan Selat Malaka menjadi incaran negara-negara Kristen penjajah dari Eropa setelah Terusan Suez dibuka.
Pada 2 November 1871 Masehi, Inggris dan Belanda mengadakan kesepakatan bersama dalam Traktat Sumatera yang bertujuan bahwa Belanda akan memperoleh kebebasan memperluas kekuasaanya di Aceh dan Inggris dapat menguasai Siak (Sumatera Utara).
Menanggapi Traktat Sumatera, Kesultanan Aceh Darussalam mempersiapkan diri untuk berperang. Kesultanan Aceh Darussalam meminta bantuan Kesultanan Utsmaniyah, Italia dan Amerika Serikat.
Tapi mengalami kegagalan karena Belanda selalu mengawasi Aceh dan Kesultanan Utsmaniyah pun harus menghadapi serangan dari Kekaisaran Rusia (1721-1917), Kekaisaran Austria-Hongaria (1867-1918) dan pemberontakan-pemberontakan di wilayah kekuasaannya secara bersamaan sehingga Kesultanan Utsmaniyah mengirim bantuan yang sedikit dan Kesultanan Aceh Darussalam harus siap berperang melawan Belanda.
Meski selalu kalah melawan Kesultanan Aceh Darussalam, Belanda pun berambisi mengalahkannya karena Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu Negara Islam yang tak mengakui segala jenis penjajahan termasuk penjajahan oleh Belanda dan tak menyerah mengadakan perlawanan dan juga karena Kesultanan Aceh Darussalam berada di kawasan yang sangat strategis.
Pada 26 Maret 1873 Masehi, Belanda menyatakan perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada April 1973, Belanda mengirim 3198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J. H. R Hohler dan menyerang Koetaraja (Banda Aceh), ibukota kesultanan dan juga membakar Masjid Raya Aceh Baiturrahman yang membuat rakyat, para ulama dan sang Sultan mengadakan perlawanan hebat sehingga Mayor Jenderal J. H. R Hohler mati ditembak di bawah sebuah pohon di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I.
Karena Mayor Jenderal J.H.R Hohler mati dan Belanda kewalahan membuat Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1879 hingga tahun 1881 sebagai ganti rugi yang dirancang oleh arsitek Italia dalam gaya Kesultanan Mughal India.
Perang Aceh II yang terjadi pada Desember 1973, Belanda menyerang dan merebut istana Kesultanan Aceh Darussalam di Koetaraja. Belanda merasa bahwa Kesultanan Aceh Darussalam telah ditaklukan sehingga Letnan Jenderal van Swieten mengumumkan kemenangan Belanda di Aceh.
Namun dugaan Belanda salah, para pejuang Aceh masih hidup dan mengadakan perlawanan lebih hebat lagi di luar Koetaraja.
Belanda merasa putus asa dan kewalahan dalam menghadapi perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam. Puluhan ribu pasukan Belanda tewas dan keuangan negara yang makin kosong mendorong melaksanakan siasat lain.
Belanda melaksanakan anjuran Jenderal Deykerkoff yaitu politik adu domba, orang Aceh harus dilawan oleh orang Aceh sendiri. Awalnya, siasat ini berhasil tapi menjadi bumerang sendiri bagi Belanda.
Dr. Christian Snouck Hurgronje, seorang ahli hukum Islam dan ahli bahasa-bahasa Timur dikirim ke Aceh sebagai seorang ulama untuk menyelidiki adat istiadat dan kekuatan rakyat Aceh. Hasil penyelidikannya dirumuskan dalam bukunya berjudul "De Atjehers" yang berisi cara dapat mengalahkan Kesultanan Aceh Darussalam yang didukung oleh Jenderal van Heutz.
Ternyata kekuatan Aceh berada pada ketaatan pada ajaran Islam, para ulama sebagai guru dan pengawas moral rakyat dan keagamaan yang kuat. Oleh karena itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje mengadu domba antar ulama dan para pendukungnya sehingga makin memperlemah Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam yang memiliki kedudukan strategis di kawasan Selat Malaka menjadi incaran negara-negara Kristen penjajah dari Eropa setelah Terusan Suez dibuka.
Pada 2 November 1871 Masehi, Inggris dan Belanda mengadakan kesepakatan bersama dalam Traktat Sumatera yang bertujuan bahwa Belanda akan memperoleh kebebasan memperluas kekuasaanya di Aceh dan Inggris dapat menguasai Siak (Sumatera Utara).
Menanggapi Traktat Sumatera, Kesultanan Aceh Darussalam mempersiapkan diri untuk berperang. Kesultanan Aceh Darussalam meminta bantuan Kesultanan Utsmaniyah, Italia dan Amerika Serikat.
Tapi mengalami kegagalan karena Belanda selalu mengawasi Aceh dan Kesultanan Utsmaniyah pun harus menghadapi serangan dari Kekaisaran Rusia (1721-1917), Kekaisaran Austria-Hongaria (1867-1918) dan pemberontakan-pemberontakan di wilayah kekuasaannya secara bersamaan sehingga Kesultanan Utsmaniyah mengirim bantuan yang sedikit dan Kesultanan Aceh Darussalam harus siap berperang melawan Belanda.
Meski selalu kalah melawan Kesultanan Aceh Darussalam, Belanda pun berambisi mengalahkannya karena Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu Negara Islam yang tak mengakui segala jenis penjajahan termasuk penjajahan oleh Belanda dan tak menyerah mengadakan perlawanan dan juga karena Kesultanan Aceh Darussalam berada di kawasan yang sangat strategis.
Pada 26 Maret 1873 Masehi, Belanda menyatakan perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada April 1973, Belanda mengirim 3198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J. H. R Hohler dan menyerang Koetaraja (Banda Aceh), ibukota kesultanan dan juga membakar Masjid Raya Aceh Baiturrahman yang membuat rakyat, para ulama dan sang Sultan mengadakan perlawanan hebat sehingga Mayor Jenderal J. H. R Hohler mati ditembak di bawah sebuah pohon di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I.
Karena Mayor Jenderal J.H.R Hohler mati dan Belanda kewalahan membuat Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1879 hingga tahun 1881 sebagai ganti rugi yang dirancang oleh arsitek Italia dalam gaya Kesultanan Mughal India.
Perang Aceh II yang terjadi pada Desember 1973, Belanda menyerang dan merebut istana Kesultanan Aceh Darussalam di Koetaraja. Belanda merasa bahwa Kesultanan Aceh Darussalam telah ditaklukan sehingga Letnan Jenderal van Swieten mengumumkan kemenangan Belanda di Aceh.
Namun dugaan Belanda salah, para pejuang Aceh masih hidup dan mengadakan perlawanan lebih hebat lagi di luar Koetaraja.
Belanda merasa putus asa dan kewalahan dalam menghadapi perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam. Puluhan ribu pasukan Belanda tewas dan keuangan negara yang makin kosong mendorong melaksanakan siasat lain.
Belanda melaksanakan anjuran Jenderal Deykerkoff yaitu politik adu domba, orang Aceh harus dilawan oleh orang Aceh sendiri. Awalnya, siasat ini berhasil tapi menjadi bumerang sendiri bagi Belanda.
Dr. Christian Snouck Hurgronje, seorang ahli hukum Islam dan ahli bahasa-bahasa Timur dikirim ke Aceh sebagai seorang ulama untuk menyelidiki adat istiadat dan kekuatan rakyat Aceh. Hasil penyelidikannya dirumuskan dalam bukunya berjudul "De Atjehers" yang berisi cara dapat mengalahkan Kesultanan Aceh Darussalam yang didukung oleh Jenderal van Heutz.
Ternyata kekuatan Aceh berada pada ketaatan pada ajaran Islam, para ulama sebagai guru dan pengawas moral rakyat dan keagamaan yang kuat. Oleh karena itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje mengadu domba antar ulama dan para pendukungnya sehingga makin memperlemah Kesultanan Aceh Darussalam.
Karena Belanda telah mengetahui sumber kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam, Jenderal van Heutz membentuk Pasukan Marshose yang bergerak cepat yang dilengkapi senapan dan klewang.
Teuku Cik Ditiro gugur pada tahun 1891 membuat Aceh merasa kehilangan. Pada tahun 1893, Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda. Namun ia kabur dan bergabung kembali dengan para pejuang Aceh dengan membawa sejumlah uang dan senjata pada Maret 1896.
Akhirnya, Teuku Umar pun syahid alias gugur di Meulaboh tepat pada tanggal 11 Februari 1899. Istrinya, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangannya bersama para pengikutnya dan mengadakan perlawanan di hutan-hutan secara gerilya.
Kemudian, Belanda menangkap keluarga Sultan Daudsyah pada November 1902 dan memerintahkan agar Sultan Daudsyah menyerah atau keluarganya akan dibuang. Oleh karena itu, ia menyerah pada Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Demikian pula, Panglima Polim dan beberapa hulubalang Aceh ditangkap Belanda pada September 1903.
Belanda mengira perlawanan rakyat Aceh akan padam setelah Sultan Daudsyah, Panglima Polim dan beberapa hulubalang Aceh menyerah. Namun perlawanan rakyat Aceh masih tetap berlangsung secara bergerilya. Pada 1905, Cut Nyak Dien ditangkap di hutan. Cut Nyak Meutia pun gugur pada 1910.
Atas jasa Dr. Christian Snouck Hurgronje, seorang ahli teologi yang menyamar sebagai ulama, Belanda berhasil menaklukan Aceh pada tahun 1912.
Kesultanan Aceh Darussalam dibubarkan dan Aceh dipaksa untuk menandatangani Korte Verklaring atau Plakat Pendek.
Perang Aceh adalah sebuah perang modern era penjajahan karena rakyat Aceh bersama Kesultanan Aceh Darussalam menggunakan senjata modern di zamannya seperti meriam, senapan, pistol dan berbagai senjata khas Aceh.
Hal ini juga karena Kesultanan Aceh Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang dibantu penuh oleh Kesultanan Turki Utsmani di Indonesia.
Perang Aceh atau juga disebut sebagai Perang Jihad adalah perang yang paling banyak merugikan Belanda di Indonesia sehingga puluhan ribu pasukan Belanda mati dan dikuburkan di Kuburan Kerkoff Peucut yang merupakan kuburan Belanda terluas di luar Belanda.
Sumber gambar : tribunnews.com
Keterangan : Cut Nyak Dien kedua dari kiri
Dari konflik ini kita mengenal para pahlawan dari Aceh seperti Panglima Polim, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, Teuku Imam Leungbata, Tengku Cik Di Tiro, Cut Nya Din, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, Tengku Fikinah dan masih banyak lagi.
Semoga Allah Ta'ala membalas jasa-jasa mereka dan mari kita mengambil hikmah dan pelajaran dari fakta-fakta sejarah ini bahwa segala jenis penjajahan akan selalu mendapatkan perlawanan meski nyawa sebagai taruhannya dan hanya kebenaran yang akan menang.
Hidup Mulia atau Mati Syahid. MERDEKA !!!
Sumber referensi :
* Buku Sejarah untuk kelas XI SMA Program Ilmu Pengetahuan Alam oleh Nana Supriatna
* Wikipedia Bahasa Indonesia dengan judul Perang Aceh
* Wikipedia Bahasa Inggris dengan judul Aceh War
* Wikipedia Bahasa Indonesia dengan judul Perang Aceh
* Wikipedia Bahasa Inggris dengan judul Aceh War
* Buku LKS Sejarah untuk kelas XI SMA Program Ilmu Pengetahuan Alam Semester I
Baca juga:
4 Komentar
Ternyata spt itu y sejarahnya ,kita sbg anak indonesia harus bangga ya gan ,thanks infonya
BalasHapusIZIN BOOKMARK UNTUK TUGAS IPS NANTI :D
BalasHapusjadi lebih tau tentang perang aceh
BalasHapusterima kasih sudah share gan, makin ngerti nih dengan sejarah.. :)
BalasHapusBerkomentarlah sesuai dengan artikel yang Anda baca. Pemilik blog ini tidak bertanggung jawab atas apapun komentar Anda.