TERBARU

10/recent/ticker-posts

6 Jasa para Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia


ألحمدالله, kita masih hidup sehingga kita dapat melakukan berbagai kegiatan yang semoga bermanfaat dan tak merugikan siapa pun... Dalam kesempatan ini, Adi ingin berbagi informasi seputar 6 Jasa para Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia, silakan simak....
Ulama adalah Muslim yang sangat mengetahui Ajaran Agama Islam dan menjadi guru bagi para pelajar Muslim yang tersebar di seluruh dunia, khususnya di negara-negara Muslim termasuk di Indonesia.

Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke-7 Masehi tanpa terjadinya pertumpahan darah dan dengan kata lain, Islam datang dengan jalan perdamaian. Namun, pada abad ke-16, Bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis dan Belanda datang dengan membawa misi penyebaran Agama Kristen ke Indonesia. Awalnya, Bangsa Eropa hanya ingin berdagang namun ternyata fakta sejarah mengungkapkan bahwa mereka menyebarkan Agama Kristen dengan cara penjajahan dan dengan kata lain, Agama Kristen disebarkan di atas genangan darah rakyat Indonesia.

Selama 350 tahun (1602-1942), Belanda menjajah Indonesia dan selama 3.5 tahun (1942-1945), Jepang ikut menjajah Indonesia setelah Belanda menyerah dalam Perjanjian Linggarjati. Selama itu pula para pejuang yang mayoritasnya adalah Umat Islam yang dipimpin oleh para Ulama mengadakan perlawanan selama berabad-abad namun karena liciknya Bangsa Penjajah, perjuangan mereka berhasil dipatahkan namun tidak membuat mereka putus asa dalam memperjuangan kemederdekaan Indonesia dan atas ridho Allah, Indonesia pun merdeka. Ternyata fakta sejarah mencatat bahwa jasa-jasa para Ulama ikut andil dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari cengkraman Bangsa Penjajah. Berikut ini 6 Jasa para Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia :

1. Menyadarkan rakyat tentang ketidakadilan, kekejaman dan kesewenang-wenangan penjajah

Para ulama menanamkan kesadaran pada hati rakyat dalam berbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi dan pertemuan lainnya. Seorang Letnan dari Belanda yang memerintah pada 1811-1816 sebagai gubernur EIC di Indonesia mengakuinya dan ia mengatakan dengan sudut pandang sebagai Penjajah, "Karena mereka (para Ulama) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerintah kolonial (penjajah). 'Pendeta Islam' itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi dalam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dari hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai Kafir dan Pengacau"

2. Memimpin gerakan non kooperatif pada Penjajah dari Belanda

Dalam masa penjajahan, para Ulama mendirikan banyak pesantren di daerah-daerah terpencil untuk menjauhi Bangsa Penjajah yang banyak tinggal di kota-kota. Pada masa revoolusi, Belanda mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh Umat Islam di daerah jajahan Belanda. Namun, KH. Hasyim Asy'ari (pemimpin Ulama seluruh Jawa) menentang dan mengeluarkan fatwa haram untuk pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan Kapal Belanda.

Belanda meminta orang-orang Indonesia sebagai pasukan militer untuk menghadapi Jepang di Indonesia saat Belanda berada di posisi kesulitan dalam Perang Dunia II. Namun, KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram untuk masuk menjadi Tentara Belanda atau untuk bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.

Setiap bujukan agar KH. Hasyim Asy'ari tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal dilakukan. Bahkan, pada tahun 1937, penganugerahan bintang jasa yang terbuat dari emas dan perak dari Belanda ditolak oleh beliau. Gerakan non kooperatif dengan penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh para Ulama lainnya.

3. Mengeluarkan fatwa wajibnya Jihad fi Sabilillah

Fatwa ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan terhadap Bangsa Penjajah. Perang Suci ini juga muncul di Aceh Darussalam paling awal abad ke-17 yang dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis dan yang terparah pada abad ke-19 yang pada waktu itu, Belanda mengorbankan Perang Aceh yang berakhir pada tahun 1912 setelah Belanda mengkhianati perjanjian damai dengan para pejuang dari Aceh.

Seorang guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad mengatakan dalam Tadhkirat ar Rakidin-ajaran utama tahun 1889-bahwa Aceh Darussalam merupakan Negara Islam kecuali daerah yang dijajah Belanda dan menjadi Darul al Harb. Jihad merupakan kewajiban moral orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang Kafir kepada Negara Islam.

Seorang Ulama yang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro menghimbau dengan mengirim surat ke para Ulama dan para pemimpin di Jawa Tengah dan di Jawa Timur untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasarkan Agama Islam yang benar dengan dibantu oleh Kyai Mojo, Kyai Basari dan para Ulama lainnya. Perang Diponegoro (Perang Jawa) pun berkorbar selama 5 tahun (1825-1830), perang inilah yang membuat keuangan Belanda merosot drastis karena Belanda membiayai angkatan perangnya dengan uang 20 Juta Golden dalam waktu 5 tahun. Karena tidak mau kalah, maka Belanda pun mengadakan perjanjian damai namun kemudian Belanda menangkap Pangeran Diponegoro dan para Ulama lain saat mereka tidak memegang senjata. Inilah bukti bahwa Belanda sebagai salah satu Bangsa Pengkhianat.

Setelah Perang Dunia II usai, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Resolusi Jihad pun dikeluarkan para Ulama NU yang bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Kemudian, fatwa ini dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946. Resolusi inilah yang sangat mempengaruhi perlawanan rakyat terhadap Belanda dan pasukan Sekutu.

Keberhasilan Pertempuran Surabaya (10 November 1945) tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Perlawanan Petani di Banten, Perlawanan Rakyat Singaparna di Jawa Barat dan peristiwa lainnya juga dipicu oleh Fatwa Jihad dari para Ulama.

4. Mengatur dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah

Banyak Ulama yang menjadi pemimpin perlawanan seperti Pangeran Diponegoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Tengku Cik Ditiro, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abbas Buntet, KH. Zainal Mustofa dan para Ulama lainnya.
KH. Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapat latihan ketentaraan dan memanggul senjata dengan metode baru di setiap daerah yang dipimpin oleh para Ulama, berbagai pesantren menjadi markasnya termasuk di Tebuireng, Sidogiri, Lirboyo, dan Gontor.
Mereka dilatih secara militer untuk memperjuangkan kemerdekaan. Maka terbentuklah Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin dengan semboyan "Ala Inna Hizbullahi humul ghalibun (Ingatlah, sesungguhnya Golongan Allah yang menang) untuk para pemuda, Laskar Sabilillah yang dipimpin oleh KH. Masykur untuk umumnya para kyai, lelaki dan wanita dengan semboyan "Waman yujahid fi Sabilillah (Mereka yang berjuang di Jalan Allah)", dan Laskar Mujahidin yang menyerupai pasukan maut yang tak takut mati dengan semboyan "Waladzina jahadu fina lahdiyannahum subulana (Mereka yang berjuang di jalan-jalan-Ku, Aku akan tunjukkan mereka jalan-jalan-Ku)". Mereka tergabung dalam laskar-laskar tersebut mencapai puluhan ribu orang di seluruh Indonesia. Laskar-laskar ini berperan penting dalam Perang Kemerdekaan melawan Belanda.

5. Menyerukan persatuan membela kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta

Para Ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa kewajiban mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 1954, sebuah Musyawarah Alim Ulama Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Sukarno adalah Waliyyul Amri Dharuri bisyi-syaukah (Pemegang pemerintahan yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan takyat).

6. Berperan aktif dalam mengisi awal kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, para Ulama ikut mempersiapkan kemerdekaan termasuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia). Pada awal kemerdekaan juga, banyak Ualam yang aktif di pemerintahan atau pun di parlemen yang tak terhitung jumlahnya. Namun, jasa para Ulama kurang dihargai oleh penguasa termasuk para para sejarawan yang kurang mendokumentasikan jasa-jasa mereka.

Dengan jasa-jasa Ulama yang sangat besar ternyata masih relatif sedikit para Ulama yang mendapat gelar pahlawan atau tertulis dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Padahal, tanpa ada jasa para Ulama sebagai pemimpin agama dan masyarakat, mustahil perjuangan kemerdekaan akan dapat dibangkitkan dan didukung luas oleh rakyat.

Kemerdekaan bukan hanya hasil dari usaha para bangsawan, tokoh nasionalis terpelajar dan tentara namun juga hasil dari usaha besar para Ulama yang telah memulai dan mendukung perjuangan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya perjuangan mereka lebih dihargai dengan penulisan ulang sejarah dan penganugerahan bintang kepahlawanan untuk semua para Ulama yang berhak dihargai jasa kepahlawanan bagi bangsa dan negara.

Sukarno, Presiden Pertama di Indonesia mengatakan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya". Dan sesungguhnya, lebih dari 6 jasa para Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia tapi saya hanya dapat menulis 6 jasa mereka.
Sekian yang dapat saya tulis dan semoga bermanfaat...

Posting Komentar

0 Komentar